Pandangan samar-samar

5 tahun yang lalu, tepat setelah sebuah panggilan WhatsApp berakhir, aku terduduk merosot dari dinding kamar. Sepuluh jariku berada di kepala. Sambil menekan-nekan pelipis dengan arah memutar, air mataku keluar tanpa sadar. Segera kuhapus dan kutarik napas panjang; sedikit lega.

Paket yang baru beberapa hari datang; rak baju dan beberapa hangernya, sudah sejak kemarin tertata rapi dan berdiri tegak di hadapanku. Walau masih berkaca-kaca, aku melihatnya dengan fokus blur karena pikiranku melayang. Seorang teman menawarkan pekerjaan yang mungkin aku mau. Bukan dia tak tahu aku sedang melakukan hal lain; mimpiku, dia hanya tak yakin saja.

Salah? tidak.

Tak ada yang lebih rapuh dari seseorang dengan kapasitas 0 hendak melakukan hal besar dalam hidupnya. I was triggered, horribly.

No one believes in you.

Just keep going.

Walau ada ataupun tiada

Apa yang ingin kau tulis, dimanapun itu, jika tak akan pernah ada yang membacanya? Apa pula yang akan kau tulis jika akan banyak orang yang pasti membacanya?

Nggak tau ya, karena belum pernah mengalami keduanya. Membayangkanya? enggak juga. Tapi yang sering aku lakukan, aku ingin dibaca oleh banyak orang makanya aku menulis. Supaya apa? supaya eksis, hahaha.

Tapi itulah aku, entah dulu, entah sekarang. Kalian tahu, aku sepertinya mengerti diriku tapi tidak juga begitu. Aku selalu ingin dunia ini tentangku, apa salah? enggak. Tapi tidak juga begitu.

Kalau ditempat lain, aku asing untuk berlaku sebagai tuan rumah, mengapa aku harus meminta izin dirumahku sendiri?

Aku pernah berusaha menggambarkan perawakan diri yang setidaknya asli di mataku, dalam rangkaian kata-kata sehingga tepat yang akan kau bayangkan tentang aku. I mean, what the heck is that? Jadi kau tidak boleh mengekspresikan wajah lain yang kau punya? atau kau hanya takut untuk dianggap tak nyata? Palsu.

Boleh tidak aku menuntut kenyamanan atas diriku sendiri? bebas mengepakkan sayapku tanpa harus diukur kelayakan terhadap standar-standar usang yang tak lagi fungsional. Boleh tidak?

Boleh Anta?

Tulislah, walau ada ataupun tiada.

Ingin melakukan banyak hal

Atmosfer yang terasa belakangan ini rada-rada membingungkan, mungkin karna sudah mau masuk kepala tiga. Walaupun dengan angka yang cukup besar terpancar aura ketuaan, tetap saja aku menolak untuk tidak merasa muda. Because, I am young and I am always thirty hihi.

Angan-angan yang mencapai ketinggian 10.000 km diatas permukaan tanah tersebut, bisa jadi dalam beberapa tahun kedepan mengalami pengurangan walaupun masih dalam elastisitas jarak yang maksimal. Untuk bisa kembali mencapai titik maksimal, tentu ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi.

Inikah yang dimaksud orang-orang tinggal melanjutkan hidup? Apa-apan ini? Sudah sampai dititik yang tidak menginginkan apa-apa lagi, itu maksudnya gimana?

Ada suatu hari perenungan yang membawaku bertanya pada diriku yang lain, bukankah ini yang kau mau selama ini, kan kita udah disini, emang mau apa lagi? You are at the peak of your life. What else you wanna do?

I WANNA DO A LOT OF THINGS.

Mau tau tidak kenapa aku bertanya begitu? Hal yang klise dilakukan orang-orang saat mereka merasa tidak cukup puas dengan apa yang mereka punya adalah melihat betapa orang lain punya hal yang lebih menarik dari hidupnya. Sayangnya perasaan itu tidak bisa kita tolak sebab media sosial memperlihatkan itu semua. Yang aku pikir akan menjadi sebuah masalah justru ketika kita mengamininya. Bahwa benar hidup kita tidak menarik dan hidup kita tidak lebih baik. 

Apakah karena kita gak punya standar cukup atau kepuasan soal memiliki hidup, yang kita buat sendiri?

Mengimani diri untuk merasa cukup puas dengan hidup, seolah aku ingin hidup yang biasa-biasa saja. Padahal …

Ya, aku memang ingin hidup yang biasa-biasa saja. Tapi atmosferku, harus mencapai lebih dari titik elastisitasnya. 

Naik kelas, naik kelas, naik kelas.

Tirai tersingkap

Saat ada keharusan untuk memberitahu orang-orang, bahwa kita sedang berbahagia, emang kenapa? 

Saat menikmati hal yang tidak biasa harus disampaikan ke orang-orang sebab kita sedang berbahagia, emang kenapa?

Saat tak ada lagi tirai yang tak tersingkap, karena kita sedang berbahagia, emangnya kenapa hah?

***

Kursi-kursi dirapikan, sisa buangan makanan yang berserakan diatas rumput telah berkumpul rapi di tong sampah. Satu persatu gerombolan anak kembali ke asrama masing-masing. Halaman SCH (Student Center Hall) sekarang sudah mulai sepi. Selesai juga acara temu ramah ini.

Tidak tau aku dimana, memori ingatan yang memilih tinggal untuk ikut bersamaku adalah “setelah kurang lebih 3 menit”, sedurasi lagu One Direction – What Makes You Beautiful, itu saja.

This. Is. So. Fun.

Hampir setengah jam, sebelum.

“You’re insecure, don’t know what for” lagu sudah mulai dibunyikan.

“Bu, ayook!”

Aku melompat-lompat, asyik sekali itu, serius. Ibu Rahma yang tadi kuajak, sedang asyik juga di depanku. Kugoyangkan badanku, kuangguk-anggukkan kepalaku, seiring beat lagu yang entah sudah membawaku melompat kemana, haha.

And that is one of the fun things I still do to this day.

I so let you know, because.

Emang, kenapa?

Potongan diri yang lain

Adakah perasaan campur aduk yang aku rasakan ini, pada kalian? Kau memahami suatu hal, tapi kau menolak memahami hal yang mengikuti setelahnya. Penerimaan diri yang tak menerima potongan diri yang lain.

Seperti ini gambarannya: Seseorang yang mengakui mencintai diri apa adanya, tapi dia melakukan operasi plastik untuk mendapatkan versi terbaiknya. Apakah dia mencintai diri apa adanya?

Memang benar, tidak bisa langsung disimpulkan begitu saja bukan, nah kira-kira begitulah campur-aduk yang aku rasakan, hehe.

***

Potongan diri yang lain

Bukan aku tidak menerimamu, aku mencintaimu, tapi bersamamu rasanya aku lelah, aku rasa itu bukan diriku yang sebenarnya. Tapi terimakasih sudah membawaku sampai hari ini. Aku tidak akan seperti di hari ini, kalau bukan karnamu, sayang. Aku sangat menyayangimu. Tapi aku harus lepas darimu, walau tidak seutuhnya hanya di persentase yang berbeda. Aku hanya membutuhkan dirimu di waktu tertentu saja. Because you are the power I don’t need in my daily basis. But I always need you at the right moment.

***
Setelah panjangnya waktu bersama diri, akhirnya sekalimat itu yang aku ucapkan pada diri ku yang kusebut “potongan diri yang lain”. Dia sudah baik-baik saja. Tidak ada yang terluka, hanya masalah penggunaan saja.

Bagian khas sederet kenangan

Baru saja pulang sekolah, mungkin kelas 1 SD, sekitar jam 11an. Aku menodong ibu yang sedang memasak sambil menunjukkan sebuah buku yang bertulis huruf A, bukan yang kapital tapi huruf A tegak bersambung. Aku bilang, “Mak, tengok ini.” Ibu mengangguk seakan ikut merasakan apa yang aku rasa. Betapa bahagianya aku, telah menemukan cara baru menulis huruf A. 

***

Pernah minum es? es lilin? aku suka berlama-lama dengan kemasan plastik es lilin. Aku akan membuat sesuatu dengannya. Tebak apa? melonggarkan bagian bawah plastik es, hingga plastik mengembang seiring bertambahnya pelonggaran pastik yang dilakukan. Saat itu, aku sedang di sekeliling teman-teman bapak. Mungkin aku lagi di ajak main, sambil bapak ngobrol dengan temannya. Tiba-tiba, kembangan dari longaran plastik es tadi, sudah sebesar yang lebih dari aku harapkan. Aku lari dan langsung peluk kaki bapak, dengan bilang “Bapaaak!”. Semua tertawa, yang aku peluk justru kakinya teman bapak.

***

Dibalik salah satu pilar aula sekolah, balik ke tahun 2008, aku pegang buku dengan lembar terbuka bertulis beberapa baris puisi, yang tak lagi kuingat isinya. Aku tunjukkan ke seorang teman, teman biasa waktu itu. Dia tertawa, aku menangis. Long story-short, dia bukan teman biasa sekarang, dia my forever friend. 

Bolehkah aku bermain denganmu?

Suasana malam hening, orang-orang sekelilingku fokus dengan urusan masing-masing. Tapi tak beda yang kami kerjakan, semuanya mengerjakan hal yang sama, PR. Kelas 1 SMP seingatku, aku bingung tugas PR yang aku punya belum juga selesai. Cara agar masalahku selesai adalah orang di sampingku. Anak asrama yang personal branding-nya adalah anak pintar. 

Aku beranikan diri bertanya, gak ingatpun kalau dia orang yang pendiam. Tapi masa sih, ada orang bertanya gak dijawab. Benar sekali “boleh tanya nggak?” ku dianggap angin lalu. 

Why in the world such people do exist? 

Pertanyaan yang muncul di pikiranku setelah sekian banyak perlakuan serupa dari orang yang sama. 

Tapi apakah aku berhenti berteman dengannya? Tentu tidak. 

Sampai 2 tahun yang lalu. 

***

Sejak 2 tahun yang lalu, aku mangkir menulis di blog ini. Aku pikir aku tidak akan menulis lagi. There’s no way I would be a writer, so this is just a waste of time: benakku. 

Tapi itu benar, karena waktu itu aku memang ingin jadi penulis, aku paksa diri untuk bisa produktif dalam banyak hal. Penulis bukanlah satu-satunya goal yang ingin ku capai. Tapi aku si rakus ini, pengen semuanya haha. 

Setelah dua tahun berlalu, aku sadar, aku masih ingin bercerita. Cerita yang panjangnya gak bikin ngantuk, dan lebarnya gak bikin bosan. 

Memaksa diri hanya akan membuat aku merasa terbebani akan label ini-itu, sebab harus memenuhi ambisi. Apalah esensi purpose jika terus merasa dihantui target yang tak siap-siap. Bagus gak punya tujuan jadinya kan? salah.

Purpose itu sebagai petunjuk arah, bukankah ketika tersesat di jalan walau sudah membawa peta, perlu tetap bertanya pada warga sekitar?

Aku ini yang aneh haha, gak sabaran, gak mau melangkah kecil.

Bertanya, cari tau, inisiatif, meskipun tidak selalu sesuai ekspektasi. 

Di diriku yang hari ini, banyak sekali yang telah dilepas dan banyak juga yang ditambah. Harusnya memang begitu kan?

Andai wadah ini adalah manusia, ingin sekali aku bertanya:

Bolehkan aku bermain denganmu?

Lagi?